Sabtu, 01 Agustus 2009

Dr. phil. Ichwan Azhari Pemburu Arsip Sejarah

Selama tujuh tahun di Eropa, Ichwan Azhari memburu arsip sejarah Nusantara di berbagai perpustakaan dan kampus, terutama di Jerman dan Belanda. Pendiri Pustaka Humaniora (Pusra) kelahiran Medan 16 November 1961, itu juga menemui para misionaris yang pernah bertugas di Indonesia.

Pengembaraannya tak sia-sia, mengingat arsip lama sejarah Nusantara relatif tersimpan rapi di Eropa. Banyak dari arsip itu masih utuh, sesuai aslinya. Sebagian hanya tinggal satu sehingga dia tak bisa mendapatkan aslinya.

Padahal, arsip-arsip langka itu sangat berharga bagi sejarah Indonesia. Beberapa arsip yang ditemukan Ichwan adalah surat kabar terbitan Indonesia (sebagian besar dari Sumatera Utara), peta lama, mata uang logam dan kertas, foto-foto, majalah, buletin, kartu pos, serta sejumlah piringan hitam.

Semua dokumen itu dia gandakan dan sebagian dia beli aslinya. Saat pulang ke Tanah Air tahun 2001, arsip yang didapatkan dari Eropa ikut serta. Sebagian orang sempat mencibirnya sebagai konyol lantaran jauh-jauh dari Eropa hanya membawa "barang rongsokan".

Kini, kumpulan arsip itu menjadi koleksi utama Pustaka Humaniora (Pusra) yang didirikannya pada April 2006. Baginya, pengumpulan dokumen itu penting untuk menyibak sejarah Nusantara akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, terutama tentang Sumatera.

"Dari sini kita bisa tahu, ternyata pergerakan sejarah sebelum kemerdekaan tak hanya di Jawa, melainkan di berbagai penjuru Tanah Air, termasuk Sumatera," kata suami dari Netty Herawati ini.

Koleksi Pusra yang didirikannya bertambah lengkap lantaran sumbangan kolega dan berbagai instansi pemerintah. Seluruh koleksi Pusra dikelompokkan menjadi tujuh golongan yang terdiri dari 3.399 jenis. Untuk arsip koran-koran lama, jumlah yang berhasil dia kumpulkan sebanyak 10.000 lembar.

Beberapa koleksi yang membanggakannya adalah koran- koran akhir pada abad-19 yang terbit di Sumatera Utara, prangko zaman revolusi, uang zaman revolusi, dan uang kebon. "Semua ini hanya berlaku di Sumut. Saya sudah cek beberapa museum tidak ada yang mengoleksi, terutama uang kebon dan koran lama," katanya.

Ia mempunyai sekitar 1.800 lembar koleksi prangko dari zaman Belanda, Jepang, dan awal revolusi serta 1.500 lembar uang lama dan uang kebon.

"Awal November ini 6.500 koleksi buku, majalah, dan koran lama kami dipinjamkan untuk perpustakaan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Unimed (Universitas Negeri Medan)," ujarnya.

Menggabungkan

Ichwan memperoleh sebagian besar arsip sejarah dari Jerman dan Belanda. Penggabungan seluruh arsip dari kedua negara itu menjadi kesatuan data sejarah yang saling melengkapi.

Setelah mempelajari sebagian besar arsip yang didapatkan, kata dia, perusahaan swasta Eropa di Sumatera Utara itu lebih dulu masuk daripada Pemerintah Belanda. Perkembangan ini sangat memengaruhi migrasi penduduk, konflik, kekejaman sistem kapitalisme, intelektualitas, serta dinamika sosial dan budaya masyarakat Sumut, khususnya Medan dan sekitarnya.

"Saya ingin membangun data selengkapnya tentang Sumut pada masa itu," ucapnya. Untuk mewujudkan keinginan itulah, kesempatan mengajar dan belajar di Jerman 1995-2001 dimanfaatkannya guna mencari arsip-arsip pendukung.

Ichwan bercerita, suatu hari, pada masa studi doktoralnya di Jerman, ia mendapat tugas dari sang profesor menemui seorang pendeta yang pernah bertugas di Tapanuli Utara bernama Kawinsky. Melalui pendeta itu, dia tahu bahwa banyak misionaris Jerman yang menyimpan foto, dan tulisan berharga pada akhir abad-19 sampai awal abad-20 tentang Sumut.

Di Jerman terdapat lembaga misionaris terkenal di Wuppertal yang menyimpan Arsip Nommensen dan surat-surat Si Singamangaraja XII. Arsip ini, kata dia, belum dibaca dan diteliti dengan kritis. Sementara di Belanda, Ichwan banyak mendapatkan arsip koran, foto, dan peta lama Sumut.

Berbekal arsip-arsip berharga itu, keinginan Ichwan membangun perpustakaan sendiri semakin kuat. Dalam benaknya, perpustakaan swasta seperti yang tumbuh subur di Jerman dan Belanda mestinya bisa berdiri di Medan.

"Sejarah kita mestinya kita juga yang memiliki dan merawatnya. Tetapi selama ini, justru orang lain yang jauh di sana, yang merawat dan memeliharanya sampai sekarang," ujarnya.

Pendirian Pusra tak lepas dari aktivitasnya sebagai pengajar tamu di Jurusan Indonesia, Fakultas Orientalis, Universitas Hamburg, Jerman, tempat dia juga menyelesaikan studi S-3 tentang sejarah pada 1995-2001. Dari kegiatan itulah, dia bisa menyisihkan sebagian penghasilan untuk mengumpulkan arsip-arsip sejarah.

Mengontrak

Sekembali dari Jerman, Ichwan tinggal di rumah kontrakan di Medan. Uang yang dia peroleh selama mengajar dan mendapat beasiswa di Jerman nyaris habis untuk membeli berkas- berkas lama tentang Sumatera. "Itulah harta yang saya bawa dari Jerman."

Belum sempat membuat perpustakaan, ia menyicil dengan menyusun dan mengelompokkan arsip-arsip tua tersebut. Pada tahap ini pula ia mendapat banyak masukan dan tambahan koleksi dari teman-teman di Medan.

Baru pada April 2006 perpustakaan Pusra berdiri dengan lima orang pengelola. Pusra menempati rumah sewaan di Jalan Tuasan 69 Medan, sekitar satu kilometer dari Kampus Universitas Negeri Medan (Unimed).

Pada tahun pertama beroperasi, tamu bisa menikmati perpustakaan secara gratis. Semua pengunjung boleh membaca, tapi tak bisa membawa pulang buku. Pusra menyediakan foto kopi bagi mereka yang ingin menggandakan koleksi penting.

Memasuki tahun kedua, April 2007, pengelolaan perpustakaan diperbaiki sebab ia kesulitan mencari biaya operasional. Selama itu biaya operasional perpustakaan ditutup dari koceknya. Maka, diberlakukanlah sistem keanggotaan. Mereka yang menjadi anggota Pusra dipungut iuran Rp 20.000 per enam bulan. Dana itu untuk perawatan koleksi perpustakaan dan honor lima karyawan.

Selama sekitar 12 tahun, sejak 1995, dana yang dikeluarkan Ichwan untuk Pusra tak kurang dari Rp 500 juta. "Itu hasil menyisihkan penghasilan selama bertahun-tahun juga ha-ha-ha."

Pada perjalanannya, Pusra tak hanya menawarkan koleksinya untuk dibaca dan dipakai sebagai bahan penelitian, tetapi juga melayani penjualan buku "langka" atau buku yang jarang ditemukan di toko buku. Pusra pun berkembang menjadi komunitas, beberapa buku langka, seperti Tan Malaka di Medan, dicetak ulang. Pusra juga menjadi tempat diskusi para mahasiswa.

Pengunjung Pusra semakin ramai, jumlah anggota aktif 169 orang. Setiap hari tak kurang dari 30 pengunjung dari berbagai kalangan, mulai murid sekolah dasar sampai dosen, memenuhi rumah sewaan bertipe 70 itu. (ANDY RIZA HIDAYAT, Kompas 31/10/2007).

Situs Sejarah di Sumatera Utara Masih Diabaikan

Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (PUSSIS) Universitas Negeri Medan, Dr. Phil Ichwan Azhari MS menyampaikan keprihatinannya dengan nasib situs-situs bersejarah dan peradaban yang sebenarnya sangat menakjubkan.

Namun masih diabaikan oleh pemerintah dan masyarakat di sekitar lokasi. Dalam literatur sejarah menunjukkan bahwa kita memiliki Barus, Portibi, Kota Cina, Kota Rentang, Benteng Putri Hijau Delitua dan lain sebagainya.

“Kenyataannya hampir semua situs-situs penting tersebut masih belum diperhatikan dan dirawat sebaik mungkin,” kata Ichwan pada seminar mahasiswa jurusan Pendidikan Sejarah di Aula Lantai-III FIS-UNIMED, Kamis (16/4).

Padahal situs berharga itu, salah satunya merupakan simbol kejayaan peradaban masyarakat dahulu, dan akan banyak pelajaran berharga yang dapat diambil darinya. Juga sebagai destinasi terbaik wisata sejarah yang dapat mendatangkan devisa kepada daerah, terang Ichwan.

Sementara Lucas Partanda Koestoro, DEA Kepala Badan Arkeologi Medan memaparkan bahwa, sejarah masa lampau Biaro-biaro (candi) yang ada di Padang Lawas memiliki sejarah panjang dan sangat menarik yang dimulai dari masa pemerintahan Sriwijaya, Panai, hingga Indonesia Merdeka.

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa pada masa kejayaan Panai abad ke XI-XIV, Padang Lawas menjadi pusat sebuah institusi pemerintahan sekaligus pusat penyebaran agama Hindu Budha.

Dijelaskannya, Padang Lawas memiliki sisa karya budaya yang dapat dihubungkan dengan eksistensi kerajaan berpengaruh di wilayah Asia Tenggara antara abad ke-7 sampai dengan abad ke-11 yakni Kerajaan Sriwijaya. Laporan resmi tentang kawasan tersebut sudah dicatat oleh Kerchoff pada tahun 1887.
Demikian juga laporan kepurbakalaan (Oudheikundig Verslag) tahun 1914 yang menyebutkan keberadaan tiga bangunan dari bata yang disebut penduduk dengan Biaro.

“Masing-masing menempati tepi kanan Sungai Barumun, tepi kiri sungai Batang Pane dan di antara kedua Sungai tersebut. Bukti-bukti pendukung aktivitas tersebut seperti ditemukannya hingga kini Biaro Bahal I dan II, Biaro Sitopayan maupun Si Pamutung”, jelasnya.

Kondisi biaro tersebut, ucap Lucas sudah memprihatinkan, walaupun sudah dilakukan pemugaran, tetapi akibat kekurang perdulian pemerintah maupun masyarakat setempat, membuat biaro tersebut terancam musnah.

BCB

Untuk itu, kataLucas, semua situs sejarah itu wajib dilindungi, dipreservasi sehingga bentuk kongkrit dari pada situs, sehingga Benda Cagar Budaya (BCB) tersebut dapat dilihat, dipelajari oleh masyarakat. “Walau begitu tidak mungkin semua dapat dilindungi, karena berhadapan dengan aspek lain yang kadang kala mengalahkan nilai historis, kultural dan arkeologis”, aku Lucas.

UU No. 5 Tahun 1992 tentang BCB dan juga PP No. 10 masih sebatas undang-undang yang belum melahirkan Petunjuk Teknis (Juknis). Oleh karena itu, acapkali yang dikatakan oleh sejarawan maupun arkeolog sebagai benda cagar budaya atau situs, dinyatakan tidak oleh hukum.
Inilah yang menjadi persoalan atau duduk masalah dalam melestarikan situs-situs sejarah dan budaya, katanya.

Oleh karena itu, perlindungan, preservasi dan pelestarian situs sejarah dan budaya maupun BCB merupakan tanggungjawab bangsa, terkhusus kepada masyarakat kebudayaan sebagai pewaris kebudayaan itu.

Lucas menyebutkan, semua situs sejarah wajib dilindungi, dipreservasi sehingga bentuk konkrit dari pada situs dan BCB tersebut dapat terlihat. Hanya saja, tidak mungkin semua dapat dilindungi karena berhadapan dengan aspek lain yang kadang kala mengalahkan nilai historis, cultural dan Arkeologis.
Kandidat Doktor USU, Rita Margaretha Setianingsih, M.Hum menyebutkan, di samping ditemukannya Biaro-biaro, juga ditemukan prasasti yang memuat tentang pembangunan biaro, seremoni, kutukan, pemujaan, bahan-bahan bangunan maupun raja yang berkuasa.

Prasasti yang sudah ditraslitarasi tersebut adalah seperti Batara Lokanantha, Batu Gana I, Batu Gana-II, Sitopayan-I, Sitopayan-II, Tandihat-II, Tandihat-I, Raja Soritaon, Padangbujur I, II dan III

"Posting by : Harian ANALISA"