Rabu, 05 Agustus 2009

Naik Kereta Api…Zus…Zus…Zus...

Naik kereta api
Zus zus zus
Siapa hendak
turut

Lagu ciptaan Ibu Sud itu akrab di telinga anak-anak kita. Hampir semua anak-anak sekolah TK dapat menyanyikannya. Tapi hampir dapat dipastikan, tak satupun di antara mereka (termasuk guru-gurunya) pernah melihat langsung kereta api yang bunyinya zus…zus…zus itu. Dan dalam kosa kata Indonesia, “kertapi” adalah akronim dari “kereta api”, yakni kereta yang ada apinya, ada asapnya, dan dengan suaranya yang zus…zus…zus itu. Roda kereta digerakkan oleh tenaga uap dari air mendidih yang direbus oleh tungku api dengan menggunakan bahan bakar kayu.

Kelak nanti, anak-anak tahu (walau hanya dalam khayal dan imajinasinya, tanpa mereka pernah
melihatnya langsung) itulah prototip mesin uap temuan James Watt. Dengan demikian, kereta api yang kemudian menjadi “kertapi” merupakan kosa kata Indonesia yang sangat kontekstual dan punya makna historis yang terus dipakai hingga kini, sekalipun sekarang kertapi tidak lagi berbunyi zus…zus…zus, tidak mengeluarkan api dan asap.

Kereta api uap dengan suaranya yang zus…zus…zus itu sebenarnya masih bisa diperjuangkan ada di Medan dan Sumatera Utara, bahkan sampai ke Aceh. Tidak hanya demi pengayaan fantasi dan khayal iptek anak cucu kita, tapi demi satu warisan sejarah yang penting. Beruntunglah mereka yang tinggal di Jawa, yang saat ini bisa melihat dan menaiki kertapi zus…zus…zus di Museum Kereta Api Ambarawa. Hal yang sama juga segera bisa dinikmati oleh mereka yang tinggal di, atau yang dapat pergi, ke Sawahlunto, Sumatera Barat.

Apa yang terjadi dan apa problematika di kertapi zus…zus…zus di Medan? Awal tahun 2007, saya mengirim 4 orang mahasiswa dari Jurusan Sejarah Universitas Negeri Medan ke kantor PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI) yang ada di Medan untuk membuat program wisata sejarah menggunakan kereta api zus…zus…zus ke jalur bersejarah Medan–Labuhan. Kereta api di Medan memiliki sejarah yang panjang, dibangun oleh swasta dengan nama Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) tahun 1883. Jalur yang pertamakali dibuka waktu itu adalah jalur Medan–Labuhan sejauh lebih kurang 16 km yang diresmikan pada tanggal 25 Juli 1886.

DSM sebagai perusahaan swasta berani memelopori pembukaan bisnis kereta api bukan karena penduduk yang padat atau berkembangnya sektor industri atau pertambangan di kawasan ini. DSM berdiri untuk memfasilitasi sektor perkebunan yang berkembang pesat di Tanah Deli. Perkembangan Kota Medan sendiri sejak akhir abad 19 tidak bisa dilepaskan dari perkembangan perkebunan, sehingga jejak sejarah perkebunan dan sejarah kereta api merupakan ikon sejarah kota ini.

Terus terang, waktu saya merencanakan program wisata sejarah naik kereta api dengan mahasiswa itu, saya teringat dengan wisata sejarah kereta api di Jerman, khususnya di Hamburg, tempat saya tinggal selama 7 tahun. Di halte kertapi Barmbek dekat rumah saya waktu itu, selalu terpampang poster dan brosur wisata sejarah naik kertapi tua ke kawasan-kawasan yang punya sejarah tua jalur perkeretaapian. Banyak orang tua yang ikut bernostalgia menaiki kertapi itu, sementara anak-anak sekolah beserta guru sejarah mereka membuat acara khusus mengikuti program wisata sejarah yang sangat cerdas dan mengesankan itu.

Ketika saya tahu di Ambarawa, wisata sejarah menggunakan kertapi sudah mulai dijalankan juga, kenapa di Medan tidak dimulai? Saya ingat, kertapi zus…zus…zus itu, waktu kecil sering saya lihat di Stasion Kertapi Medan. Bahkan akhir tahun 1970-an, saya pernah naik kertapi zus…zus…zus itu di Tebingtinggi. Saya sangat berharap, mahasiswa yang saya kirim ke kantor PT. KAI di Medan akan membawa berita gembira untuk segera membuat wisata sejarah menggunakan kertapi lama.

Tapi betapa menyedihkan ketika saya mengetahui dari mahasiswa itu, bahwa ternyata kereta api zus…zus…zus sudah tidak ada lagi di Medan. Saya heran, ke mana kertapi zus…zus…zus yang masih banyak saya lihat di tahun 1970-an itu kini berada? Tanya sana tanya sini, akhirnya saya mendapat informasi bahwa kertapi itu di tahun 1980-an diambil oleh Ibu Tien Soeharto untuk menjadi koleksi Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta. Saya sendiri belum mengecek kebenaran informasi itu. Satu kertapi tua yang diletakkan di samping Stasion Kereta Api Medan sekarang ternyata sudah tidak bisa jalan. Kertapi itu disisakan sekadar untuk monumen kejayaan masa lalu perkeretaapian Medan.

Saya sangat sedih dan kecewa. Dan kekecewaan makin bertambah ketika tanggal 20 Januari 2009 yang lalu, terbetik berita di Harian Kompas bahwa PT. KAI akan menyewakan aset lahannya ke swasta seluas 67 hektar di Brayan. Di lahan yang akan disewakan ke swasta itu, terdapat aset bersejarah perkeretaapian, seperti bangunan perumahan dan perkantoran dari zaman Belanda yang berarsitektur khas, bengkel kereta api dengan berbagai peninggalan dan peralatannya dari akhir abad ke-19, jalur-jalur kereta api tua dan juga menara air yang unik, tempat di mana kertapi zus…zus..zus dulu mengisi air untuk menggerakkan lokomotifnya. Bila kawasan ini disewakan ke swasta untuk dijadikan sentra bisnis, perkantoran, mall atau perumahan, maka tidak ada jaminan bahwa bangunan-bangunan bersejarah itu tidak dihancurkan oleh swasta yang telah mengantongi hak pengelolaan kawasan.

Saya dan beberapa teman yang mewakili Asosiasi Museum Indonesia (AMI) Pengurus Daerah Sumatera Utara, Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (Pussis) Unimed dan Badan Warisan Sumatera, pada tanggal 22 Januari 2009 datang menemui Kepala PT. KAI Divisi Regional Sumut-Aceh, Bapak Albert Tarra, di kantor pusatnya, di sebuah gedung bersejarah di Jl. Prof. Mr. M. Yamin Medan. Kami ingin menanyakan bagaimana konsep dan sikap PT. KAI terhadap bangunan-bangunan bersejarah yang ada di lahan yang akan mereka sewakan ke swasta itu.

Dan ternyata, PT. KAI pada waktu itu tidak peduli tentang aset sejarah yang ada di atas lahan itu. Mereka tidak melihat bangunan tua sebagai aset. Mereka hanya melihat kawasan itu sebatas aset lahan, yang bisa menguntungkan secara ekonomi. Dengan enteng, sang pimpinan bilang, nasib bangunan-bangunan itu terserah pihak swasta yang akan memakai lahan itu.

Dari dialog dengan pimpinan PT. KAI, nampak bahwa perusahaan BUMN itu tidak menghargai warisannya sendiri, bahkan terkesan tidak tahu sama sekali tentang nilai sejarah dari kawasan yang akan disewakan ke swasta itu. Cara berpikir PT. KAI seperti ini tentu sangat membahayakan warisan sejarah Kota Medan, terutama di tengah kecuekan pemerintah kotanya.

Pembicaraan kami dengan PT. KAI di Medan pun tak memberikan apa-apa, karena pimpinan
PT. KAI di Medan hanya instrumen dari kebijakan PT. KAI pusat. Sejumlah keberatan yang dilayangkan sejarahwan dan pemerhati sejarah di media massa tentang rencana penghancuran warisan sejarah Kota Medan itu seharusnya juga bisa disampaikan ke PT. KAI Pusat atau atasannya, bahkan jika perlu ke DPR RI agar parlemen bisa memanggil Dirut PT. KAI.

Aset sejarah kereta api di Medan tidak hanya penting bagi sejarah perkeretaapian Indonesia, tapi juga penting bagi sejarah Kota Medan. Menghancurkan aset itu berarti juga menghancurkan sejarah Kota Medan. Untuk mencegah hal itu, pihak Pemko Medan harusnya bisa bernegosiasi dengan PT. KAI Pusat di Bandung sebagaimana yang dilakukan Pemko Sawah Lunto. Pengelolaannya bisa dilakukan dalam bentuk konsorsium kedua instansi atau diserahkan ke pihak ketiga.

Kawasan Brayan yang akan disewakan PT. KAI ke swasta harusnya tidak memasukkan bangunan-bangunan sejarah dan situs bersejarah yang ada di sekitar itu. Pihak PT. KAI saya kira bisa bernegosiasi dengan pihak swasta karena bangunan bersejarah yang ada tidak berada di seluruh area, hanya memusat di satu tempat. Pihak Pemko dengan DPRD perlu segera mengeluarkan Perda untuk menetapkan bangunan-bangunan bersejarah di kawasan itu sebagai benda cagar budaya agar pihak swasta nanti tidak bisa menghancurkannya.

Di samping kawasan Brayan, di sekitar Stasion Kereta Api Medan sendiri banyak sekali bangunan dan kawasan bersejarah yang berkaitan dengan sejarah perkeretaapian. Saya mendengar dari anggota DPRD Medan, Bapak Ikrimah Hamidy, bahwa pihak PT. KAI sedang mengusulkan pengembangan stasion itu dalam rangka pembukaan jalur kereta api ke Kualanamu. Dikhawatirkan, dalam rancangan pengembangannya, kawasan bersejarah di kawasan itu akan dikorbankan. Pemko Medan dan DPRD perlu segera mengantisipasi rencana ini dengan menyelamatkan aset sejarah yang ada di situ. Saya mengusulkan agar titi gantung dan pergudangan di kiri dan kanan stasion, juga bangunan-bangunan tua PT. KAI di sekitarnya, dapat difungsikan sebagai site museum kereta api.

Kereta api tua yang dipajang di samping Stasion Kereta Api Medan yang nampak tidak terawat, seperti sengaja ditelantarkan dan dijadikan semacam “toilet umum” itu, harusnya bisa dipindahkan ke salah satu gudang yang ada, terlindung dari panas dan hujan, dirawat dan diberi narasi sejarah. Gudang-gudang itu bisa dirombak, dijadikan museum tempat pajangan berbagai gerbong dan kereta api lainnya, termasuk gerbong kereta api Sultan Deli yang ada di Brayan. Sejumlah replika kereta api tua yang pernah dipakai di Medan dapat disajikan di ruang museum itu, juga foto-foto perkeretaapian kawasan ini.

Itu semua bisa dirangkai dalam gagasan menghidupkan kembali jalur sejarah kereta api Sumatera. Dan ini semuanya bukan mustahil. Modifikasi teknologi di Eropa telah memungkinkan rongsokan kereta api tua bisa dihidupkan lagi. Untuk itu, bisa dibuat komite untuk melacak dan mengembalikan semua lokomotif tua milik Sumut yang pernah dibawa ke Pulau Jawa. Jika ada kemauan, bukanlah mimpi lagi untuk berwisata sejarah naik kereta api di Medan yang zus…zus…zus

By. Ichwan Azhari, MS


Posthing from : Sabtu, 18 April 2009 "Inside Sumatera"

KOTA YANG KEHILANGAN JEJAK

Sebelum tahun 1975, Kota Medan merayakan hari ulang tahunnya setiap tanggal 1 April. Penetapan hari ulang tahun itu didasarkan penetapan Kota Medan sebagai Gemeenteraad tanggal 1 April 1909. Jika hari ulang tahun itu tidak dirubah pada tahun 1975, maka tanggal 1 April ini merupakan hari ulang tahun Kota Medan ke-100 (satu abad). Melakukan refleksi melalui peringatan satu abad Kota Medan sebagai satu kota dengan warisan jejak peradaban Eropa yang tinggi, tentu beda dengan jika yang dijadikan tonggak adalah hari jadi sebuah kampung, apalagi tidak ada bukti historis bahwa dari kampung itulah Medan berkembang menjadi kota moderen.

Ini semua terjadi hanya gara-gara sekelompok orang kurang kerjaan yang tidak mau segala sesuatunya berbau kolonial. Lalu di awal tahun 1970-an, orang-orang itu mencari kesibukan mengarang hari jadi kota yang baru. Yang penting, tidak ada bau Belandanya. Mereka mencoba mengingkari bahwa Kota Medan adalah ciptaan Belanda.

Singkat cerita, mereka tersesat ke sebuah legenda bernama Hikayat Hamparan Perak. Fakta hari jadi sebuah kota dalam pengertian moderen di dalam hikayat itu jelas tidak ada. Lantas fakta yang tidak ada itu diada-adakan dan dijungkirbalikkan, lalu…sim salabim…ketemulah tanggal yang tidak berbau kolonial Belanda. Tanggal boneka itu 1 Juli 1590, yang sekarang diperingati sebagai Hari Jadi Kota Medan, satu tanggal yang manipulatif, jauh dari maksud mencari tanggal pengganti hari jadi sebuah kota moderen, yang embrio kemunculannya baru ada di abad ke-19.

Berdasarkan dokumen yang ada di Arsip Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (PUSSIS) Unimed, upaya untuk mengganti hari jadi kota yang berbau Belanda itu dilakukan melalui seminar tanggal 27-29 Maret 1971. Seminar itu kemudian bergulir ke tahap dibentuknya Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Medan. Nah, panitia inilah yang kemudian memfokuskan diri untuk menelaah teks tradisional yang anonim, Riwayat Hamparan Perak (RHP), sebagai bahan untuk mencari hari jadi Kota Medan. Pada waktu itu, memang dalam disiplin ilmu sejarah, belum berkembang kajian kritis atas sebuah teks tradisional, sehingga tidak dipertanyakan apakah sebuah teks tradisional bisa dipertanggungjawabkan untuk mencari data historis. Apakah teks yang menyimpan fakta sejarah atau teks tradisional sebenarnya sebuah wacana sejarah?

Karena pertanyaan kritis itu tidak diajukan, maka panitia tidak menyadari di belakang hari akan timbul masalah yang pelik ketika paradoks dalam teks ini dibuka orang satu persatu. Misalnya, panitia berdasar teks ini mengatakan, pendiri Kota Medan adalah Guru Patimpus, orang Karo bermarga Sembiring. Tapi sekarang di internet ada bantahan berdasarkan teks yang sama, bahwa Guru Patimpus bukan marga Sembiring. Dia adalah marga Sinambela, keturunan Singamangaraja. Jadi pendiri Kota Medan bukan orang Karo, melainkan orang Batak Toba.

Teks ini memang penuh paradoks dari awalnya. Tertulis dalam teks, Patimpus adalah anak dari putra Sisingamangaraja bernama Tuan Si Raja Hita. Dengan kata lain, Patimpus adalah cucu dari keturunan langsung Raja Sisingamangaraja. Patimpus muda menolak menjadi raja meneruskan tahta ayahnya di Toba dan memutuskan untuk pergi merantau ke berbagai tempat sambil menimba ilmu.

...Maka adalah Timpus tiada mau menjadi raja; di dalam beberapa orang besarnya mau jadikan, karena ia anak yang tua, namun ia tidak mau juga, maka turunlah ia pergi ke hutan mencari ilmu...

Kalimat awal di teks RHP ini dimulai dengan kalimat:

Alkisah kata sahibul hikayat suatu cerita dahulu kala seorang Raja bernama

Singa Mahraja memerintah di negeri Bekarah.

Dilihat dari kajian teks, naskah HRP ini meragukan sebagai tempat untuk mencari fakta, tapi justru dimaksudkan untuk mengkonstruksi sebuah realitas rekaan: di bagian awal cukup menarik, karena ada pertalian garis keturunan ke Singamangaraja. Dan kabarnya panitia hari jadi Kota Medan waktu itu sudah menghubungi keturunan Sisingamangaraja. Tapi mereka mendapatkan jawaban, tidak ada keturunan Sisingamangaraja yang mengarah ke Guru Patimpus. Juga diperlukan metode analisis wacana untuk memahami bagaimana Patimpus di akhir teks muncul sebagai ulama besar penyebar Islam di kalangan orang Karo di Sumatera Timur.

Lalu, ada hal penting lainnya yang rancu, yaitu temuan tentang asal muasal Datuk Kota Bangun yang menurut tafsir panitia adalah bernama Imam Saddik bin Abdullah, seorang ulama yang berasal dari Aceh (Dada Meuraxa, 1975:52). Namun itu terbantahkan sendiri oleh RHP bahwa Datuk Kota Bangun sebenarnya bukanlah Imam Saddik bin Abdullah yang seorang guru agama Islam dari Aceh, tetapi beliau (Datuk Kota Bangun) berasal dari Jawa.

Pada kenyataannya, ulama yang sebenarnya diduga berasal dari Jawa adalah Said Tahir yang makamnya ditemukan di Gelugur dan nisannya berangka tahun 1570-an, 20 tahun lebih dahulu dibuat dari makam Imam Saddik di Klumpang, daerah Hamparan Perak yang berangka tahun 23 Sya’ban 998 Hijriyah atau 27 Juni 1590 Masehi. Dalam hal ini, timbul pertanyaan-pertanyaan seperti; apakah Imam Saddik-lah yang dimaksud ulama dari Jawa (mengingat namanya yang tidak berbau Jawa, dan cukup meragukan)? Atau, apakah Said Tahir-lah yang sebenarnya bergelar Datuk Kota Bangun yang berasal dari Jawa? Hal ini diperkuat oleh adanya catatan dalam buku Begraafplaats Rapport tahun 1938 Kota Medan (Dada Meuraxa, 1975:37), bahwa nama Keramat Gelugur adalah Said Tahir yang berasal dari Jawa. Disebutkan, ia kemungkinan adalah keturunan Wali Songo dari Cirebon sebagai pengembang Agama Islam yang wafat sekitar tahun 1575 (masa di saat Agama Islam mulai berkembang di Sumatera Timur). Hal ini semakin menarik karena pada buku yang sama telah ditemukan data yang malah mematahkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Medan tersebut.

Satu hal lagi yang semakin memperkuat adanya kesimpangsiuran data pada buku yang ditulis oleh Dada Meuraxa adalah, adanya catatan resmi yang ditulis oleh Sarjana Moquette pada tahun 1922 (Dada Meuraxa, 1975:38), di mana dinyatakan bahwa Imam Saddik adalah ulama yang berasal dari Aceh dan datang ke Deli sebagai Guru Agama Islam. Hal ini semakin menguatkan bahwa Imam Saddik bukanlah ulama dari Jawa seperti yang diakui sebagai nama alias Datuk Kota Bangun. Dengan kata lain, Imam Saddik bin Abdullah yang makamnya ditemukan di Klumpang dan berangka tahun 1590 bukanlah Datuk Kota Bangun yang bertemu dengan Guru Patimpus yang berhasil di-Islamkannya.

Hal di atas semakin mengaburkan keyakinan bahwa tahun 1590 adalah tahun yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai tahun di mana Said Tahir alias Datuk Kota Bangun bertemu dengan Guru Patimpus. Soalnya figur yang diduga sebagai orang pertama yang berhasil meng-Islamkan datuk-datuk Hamparan Perak ini sudah meninggal pada tahun 1575.

Kalaupun pertemuan Datuk Kota Bangun dengan Guru Patimpus digunakan sebagai momentum awal didirikannya Kampung Medan, maka penggunaan tahun 1590 juga tidak tepat, karena Medan sudah ada sebelum Patimpus datang. Kutipan di dalam teks sendiri membantah bahwa Patimpus yang mendirikan Medan:

...tiada berapa lama antaranya maka ia pun pindahlah membuat kampung ke Medan, dan dengan takdir Tuhan pada suatu hari ia lagi tinggal menebas Medan itu bersama-sama dengan anak bininya...tiada berapa lamanya antaranya hamillah perempuannya itu, maka Guru Petimpus pun sudah siap membuat rumahnya dan kampung di Medan...

Mengutip teks di atas, ”...maka ia pun pindahlah membuat kampung ke Medan...”, ”...tinggal menebas Medan...”, dan ”... maka Guru Petimpus pun sudah siap membuat rumahnya dan kampung di Medan...”, secara jelas tersirat bahwa daerah Medan itu telah ada sebelum kampung-kampung itu didirikan.

Jadi jelas, penggunaan teks RHP sendiri bermasalah untuk mencari jejak historis Kota Medan. Tapi karena motifnya hanya mencari hari jadi kota yang tidak berbau kolonial, maka RHP menurut saya telah jadi korban, dan kebesaran Guru Patimpus sebagai ulama Islam yang penting dan kharismatik menjadi terdistorsi oleh tafsir panitia Hari Jadi Kota Medan. Ia “diangkat” panitia menjadi pendiri sebuah kota yang tidak dia lakukan.

Jikapun kita menolak 1 April 1909 karena alasan buatan Belanda, sebenarnya masih ada tanggal lain yang lebih layak, misalnya pindahnya Ibukota Asisten Residen Deli dari Labuhan ke Medan (1879) atau tanggal dipindahkannya Ibukota Residen Sumatra Timur dari Bengkalis ke Medan (1 Maret 1887) atau pindahnya Istana Kesultanan Deli dari Labuhan ke Medan (18 Mei 1891). Kampung tidak mungkin berevolusi menjadi sebuah kota jika tidak ada faktor-faktor luar yang mendukungnya, seperti ratusan kampung yang sampai sekarang tetap menjadi kampung dan tidak berevolusi menjadi sebuah kota.

Mengenang satu abad Kota Medan dari desain besar peradaban moderen Eropa, jelas bisa membuka mata kita: amburadulnya Kota Medan sekarang ini disebabkan karena salah urus penanggung jawab kota, yaitu Walikota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Medan. Sebab, sejak didesain Belanda akhir abad 19 sebagai sebuah kota moderen dengan replika peradaban Eropa di dalamnya, Kota Medan merupakan salah satu ikon penting kota yang unik dan tidak ada duanya di dunia. Sebuah kota Paris van Sumatra yang dirancang dan puluhan tahun diurus dengan serius oleh Dewan Kota (Gemeenteeraad) dan Walikotanya (Burgemeester).

Mengenang ke satu abad Kota Medan yang kini telah menjadi bagian dari kota dunia yang mengglobal tapi sekaligus tanpa roh peradaban kota, maka tiap tahun ada celah untuk membangkitkan pertanyaan: apa yang menyebabkan kota yang semula luar biasa ini berubah menjadi kota yang salah urus? Apa saja warisan kota yang telah dijarah? Siapa saja pejabat yang tidak benar-benar mengurus kota ini seperti selama puluhan tahun sebelumnya diurus dengan baik? Dan siapa saja mereka yang “berjasa” menghancurkan peradaban kota? Tapi sayang, dalam memperingati Hari Jadi Kota Medan sejak 1975, kita tiap tahun tidak lagi mengenang sisi tingginya peradaban kota ini, karena memori kita disesatkan untuk mengenang sebuah kampung yang absurd.


By. Ichwan Azhari, MS


(Psosting From : Kamis, 23 Juli 2009 "Inside sumatera" )

Sabtu, 01 Agustus 2009

Dr. phil. Ichwan Azhari Pemburu Arsip Sejarah

Selama tujuh tahun di Eropa, Ichwan Azhari memburu arsip sejarah Nusantara di berbagai perpustakaan dan kampus, terutama di Jerman dan Belanda. Pendiri Pustaka Humaniora (Pusra) kelahiran Medan 16 November 1961, itu juga menemui para misionaris yang pernah bertugas di Indonesia.

Pengembaraannya tak sia-sia, mengingat arsip lama sejarah Nusantara relatif tersimpan rapi di Eropa. Banyak dari arsip itu masih utuh, sesuai aslinya. Sebagian hanya tinggal satu sehingga dia tak bisa mendapatkan aslinya.

Padahal, arsip-arsip langka itu sangat berharga bagi sejarah Indonesia. Beberapa arsip yang ditemukan Ichwan adalah surat kabar terbitan Indonesia (sebagian besar dari Sumatera Utara), peta lama, mata uang logam dan kertas, foto-foto, majalah, buletin, kartu pos, serta sejumlah piringan hitam.

Semua dokumen itu dia gandakan dan sebagian dia beli aslinya. Saat pulang ke Tanah Air tahun 2001, arsip yang didapatkan dari Eropa ikut serta. Sebagian orang sempat mencibirnya sebagai konyol lantaran jauh-jauh dari Eropa hanya membawa "barang rongsokan".

Kini, kumpulan arsip itu menjadi koleksi utama Pustaka Humaniora (Pusra) yang didirikannya pada April 2006. Baginya, pengumpulan dokumen itu penting untuk menyibak sejarah Nusantara akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, terutama tentang Sumatera.

"Dari sini kita bisa tahu, ternyata pergerakan sejarah sebelum kemerdekaan tak hanya di Jawa, melainkan di berbagai penjuru Tanah Air, termasuk Sumatera," kata suami dari Netty Herawati ini.

Koleksi Pusra yang didirikannya bertambah lengkap lantaran sumbangan kolega dan berbagai instansi pemerintah. Seluruh koleksi Pusra dikelompokkan menjadi tujuh golongan yang terdiri dari 3.399 jenis. Untuk arsip koran-koran lama, jumlah yang berhasil dia kumpulkan sebanyak 10.000 lembar.

Beberapa koleksi yang membanggakannya adalah koran- koran akhir pada abad-19 yang terbit di Sumatera Utara, prangko zaman revolusi, uang zaman revolusi, dan uang kebon. "Semua ini hanya berlaku di Sumut. Saya sudah cek beberapa museum tidak ada yang mengoleksi, terutama uang kebon dan koran lama," katanya.

Ia mempunyai sekitar 1.800 lembar koleksi prangko dari zaman Belanda, Jepang, dan awal revolusi serta 1.500 lembar uang lama dan uang kebon.

"Awal November ini 6.500 koleksi buku, majalah, dan koran lama kami dipinjamkan untuk perpustakaan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Unimed (Universitas Negeri Medan)," ujarnya.

Menggabungkan

Ichwan memperoleh sebagian besar arsip sejarah dari Jerman dan Belanda. Penggabungan seluruh arsip dari kedua negara itu menjadi kesatuan data sejarah yang saling melengkapi.

Setelah mempelajari sebagian besar arsip yang didapatkan, kata dia, perusahaan swasta Eropa di Sumatera Utara itu lebih dulu masuk daripada Pemerintah Belanda. Perkembangan ini sangat memengaruhi migrasi penduduk, konflik, kekejaman sistem kapitalisme, intelektualitas, serta dinamika sosial dan budaya masyarakat Sumut, khususnya Medan dan sekitarnya.

"Saya ingin membangun data selengkapnya tentang Sumut pada masa itu," ucapnya. Untuk mewujudkan keinginan itulah, kesempatan mengajar dan belajar di Jerman 1995-2001 dimanfaatkannya guna mencari arsip-arsip pendukung.

Ichwan bercerita, suatu hari, pada masa studi doktoralnya di Jerman, ia mendapat tugas dari sang profesor menemui seorang pendeta yang pernah bertugas di Tapanuli Utara bernama Kawinsky. Melalui pendeta itu, dia tahu bahwa banyak misionaris Jerman yang menyimpan foto, dan tulisan berharga pada akhir abad-19 sampai awal abad-20 tentang Sumut.

Di Jerman terdapat lembaga misionaris terkenal di Wuppertal yang menyimpan Arsip Nommensen dan surat-surat Si Singamangaraja XII. Arsip ini, kata dia, belum dibaca dan diteliti dengan kritis. Sementara di Belanda, Ichwan banyak mendapatkan arsip koran, foto, dan peta lama Sumut.

Berbekal arsip-arsip berharga itu, keinginan Ichwan membangun perpustakaan sendiri semakin kuat. Dalam benaknya, perpustakaan swasta seperti yang tumbuh subur di Jerman dan Belanda mestinya bisa berdiri di Medan.

"Sejarah kita mestinya kita juga yang memiliki dan merawatnya. Tetapi selama ini, justru orang lain yang jauh di sana, yang merawat dan memeliharanya sampai sekarang," ujarnya.

Pendirian Pusra tak lepas dari aktivitasnya sebagai pengajar tamu di Jurusan Indonesia, Fakultas Orientalis, Universitas Hamburg, Jerman, tempat dia juga menyelesaikan studi S-3 tentang sejarah pada 1995-2001. Dari kegiatan itulah, dia bisa menyisihkan sebagian penghasilan untuk mengumpulkan arsip-arsip sejarah.

Mengontrak

Sekembali dari Jerman, Ichwan tinggal di rumah kontrakan di Medan. Uang yang dia peroleh selama mengajar dan mendapat beasiswa di Jerman nyaris habis untuk membeli berkas- berkas lama tentang Sumatera. "Itulah harta yang saya bawa dari Jerman."

Belum sempat membuat perpustakaan, ia menyicil dengan menyusun dan mengelompokkan arsip-arsip tua tersebut. Pada tahap ini pula ia mendapat banyak masukan dan tambahan koleksi dari teman-teman di Medan.

Baru pada April 2006 perpustakaan Pusra berdiri dengan lima orang pengelola. Pusra menempati rumah sewaan di Jalan Tuasan 69 Medan, sekitar satu kilometer dari Kampus Universitas Negeri Medan (Unimed).

Pada tahun pertama beroperasi, tamu bisa menikmati perpustakaan secara gratis. Semua pengunjung boleh membaca, tapi tak bisa membawa pulang buku. Pusra menyediakan foto kopi bagi mereka yang ingin menggandakan koleksi penting.

Memasuki tahun kedua, April 2007, pengelolaan perpustakaan diperbaiki sebab ia kesulitan mencari biaya operasional. Selama itu biaya operasional perpustakaan ditutup dari koceknya. Maka, diberlakukanlah sistem keanggotaan. Mereka yang menjadi anggota Pusra dipungut iuran Rp 20.000 per enam bulan. Dana itu untuk perawatan koleksi perpustakaan dan honor lima karyawan.

Selama sekitar 12 tahun, sejak 1995, dana yang dikeluarkan Ichwan untuk Pusra tak kurang dari Rp 500 juta. "Itu hasil menyisihkan penghasilan selama bertahun-tahun juga ha-ha-ha."

Pada perjalanannya, Pusra tak hanya menawarkan koleksinya untuk dibaca dan dipakai sebagai bahan penelitian, tetapi juga melayani penjualan buku "langka" atau buku yang jarang ditemukan di toko buku. Pusra pun berkembang menjadi komunitas, beberapa buku langka, seperti Tan Malaka di Medan, dicetak ulang. Pusra juga menjadi tempat diskusi para mahasiswa.

Pengunjung Pusra semakin ramai, jumlah anggota aktif 169 orang. Setiap hari tak kurang dari 30 pengunjung dari berbagai kalangan, mulai murid sekolah dasar sampai dosen, memenuhi rumah sewaan bertipe 70 itu. (ANDY RIZA HIDAYAT, Kompas 31/10/2007).

Situs Sejarah di Sumatera Utara Masih Diabaikan

Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (PUSSIS) Universitas Negeri Medan, Dr. Phil Ichwan Azhari MS menyampaikan keprihatinannya dengan nasib situs-situs bersejarah dan peradaban yang sebenarnya sangat menakjubkan.

Namun masih diabaikan oleh pemerintah dan masyarakat di sekitar lokasi. Dalam literatur sejarah menunjukkan bahwa kita memiliki Barus, Portibi, Kota Cina, Kota Rentang, Benteng Putri Hijau Delitua dan lain sebagainya.

“Kenyataannya hampir semua situs-situs penting tersebut masih belum diperhatikan dan dirawat sebaik mungkin,” kata Ichwan pada seminar mahasiswa jurusan Pendidikan Sejarah di Aula Lantai-III FIS-UNIMED, Kamis (16/4).

Padahal situs berharga itu, salah satunya merupakan simbol kejayaan peradaban masyarakat dahulu, dan akan banyak pelajaran berharga yang dapat diambil darinya. Juga sebagai destinasi terbaik wisata sejarah yang dapat mendatangkan devisa kepada daerah, terang Ichwan.

Sementara Lucas Partanda Koestoro, DEA Kepala Badan Arkeologi Medan memaparkan bahwa, sejarah masa lampau Biaro-biaro (candi) yang ada di Padang Lawas memiliki sejarah panjang dan sangat menarik yang dimulai dari masa pemerintahan Sriwijaya, Panai, hingga Indonesia Merdeka.

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa pada masa kejayaan Panai abad ke XI-XIV, Padang Lawas menjadi pusat sebuah institusi pemerintahan sekaligus pusat penyebaran agama Hindu Budha.

Dijelaskannya, Padang Lawas memiliki sisa karya budaya yang dapat dihubungkan dengan eksistensi kerajaan berpengaruh di wilayah Asia Tenggara antara abad ke-7 sampai dengan abad ke-11 yakni Kerajaan Sriwijaya. Laporan resmi tentang kawasan tersebut sudah dicatat oleh Kerchoff pada tahun 1887.
Demikian juga laporan kepurbakalaan (Oudheikundig Verslag) tahun 1914 yang menyebutkan keberadaan tiga bangunan dari bata yang disebut penduduk dengan Biaro.

“Masing-masing menempati tepi kanan Sungai Barumun, tepi kiri sungai Batang Pane dan di antara kedua Sungai tersebut. Bukti-bukti pendukung aktivitas tersebut seperti ditemukannya hingga kini Biaro Bahal I dan II, Biaro Sitopayan maupun Si Pamutung”, jelasnya.

Kondisi biaro tersebut, ucap Lucas sudah memprihatinkan, walaupun sudah dilakukan pemugaran, tetapi akibat kekurang perdulian pemerintah maupun masyarakat setempat, membuat biaro tersebut terancam musnah.

BCB

Untuk itu, kataLucas, semua situs sejarah itu wajib dilindungi, dipreservasi sehingga bentuk kongkrit dari pada situs, sehingga Benda Cagar Budaya (BCB) tersebut dapat dilihat, dipelajari oleh masyarakat. “Walau begitu tidak mungkin semua dapat dilindungi, karena berhadapan dengan aspek lain yang kadang kala mengalahkan nilai historis, kultural dan arkeologis”, aku Lucas.

UU No. 5 Tahun 1992 tentang BCB dan juga PP No. 10 masih sebatas undang-undang yang belum melahirkan Petunjuk Teknis (Juknis). Oleh karena itu, acapkali yang dikatakan oleh sejarawan maupun arkeolog sebagai benda cagar budaya atau situs, dinyatakan tidak oleh hukum.
Inilah yang menjadi persoalan atau duduk masalah dalam melestarikan situs-situs sejarah dan budaya, katanya.

Oleh karena itu, perlindungan, preservasi dan pelestarian situs sejarah dan budaya maupun BCB merupakan tanggungjawab bangsa, terkhusus kepada masyarakat kebudayaan sebagai pewaris kebudayaan itu.

Lucas menyebutkan, semua situs sejarah wajib dilindungi, dipreservasi sehingga bentuk konkrit dari pada situs dan BCB tersebut dapat terlihat. Hanya saja, tidak mungkin semua dapat dilindungi karena berhadapan dengan aspek lain yang kadang kala mengalahkan nilai historis, cultural dan Arkeologis.
Kandidat Doktor USU, Rita Margaretha Setianingsih, M.Hum menyebutkan, di samping ditemukannya Biaro-biaro, juga ditemukan prasasti yang memuat tentang pembangunan biaro, seremoni, kutukan, pemujaan, bahan-bahan bangunan maupun raja yang berkuasa.

Prasasti yang sudah ditraslitarasi tersebut adalah seperti Batara Lokanantha, Batu Gana I, Batu Gana-II, Sitopayan-I, Sitopayan-II, Tandihat-II, Tandihat-I, Raja Soritaon, Padangbujur I, II dan III

"Posting by : Harian ANALISA"