Zus zus zus
Siapa hendak
turut
…
Lagu ciptaan Ibu Sud itu akrab di telinga anak-anak kita. Hampir semua anak-anak sekolah TK dapat menyanyikannya. Tapi hampir dapat dipastikan, tak satupun di antara mereka (termasuk guru-gurunya) pernah melihat langsung kereta api yang bunyinya zus…zus…zus itu. Dan dalam kosa kata Indonesia, “kertapi” adalah akronim dari “kereta api”, yakni kereta yang ada apinya, ada asapnya, dan dengan suaranya yang zus…zus…zus itu. Roda kereta digerakkan oleh tenaga uap dari air mendidih yang direbus oleh tungku api dengan menggunakan bahan bakar kayu.
Kelak nanti, anak-anak tahu (walau hanya dalam khayal dan imajinasinya, tanpa mereka pernah
melihatnya langsung) itulah prototip mesin uap temuan James Watt. Dengan demikian, kereta api yang kemudian menjadi “kertapi” merupakan kosa kata Indonesia yang sangat kontekstual dan punya makna historis yang terus dipakai hingga kini, sekalipun sekarang kertapi tidak lagi berbunyi zus…zus…zus, tidak mengeluarkan api dan asap.
Kereta api uap dengan suaranya yang zus…zus…zus itu sebenarnya masih bisa diperjuangkan ada di Medan dan Sumatera Utara, bahkan sampai ke Aceh. Tidak hanya demi pengayaan fantasi dan khayal iptek anak cucu kita, tapi demi satu warisan sejarah yang penting. Beruntunglah mereka yang tinggal di Jawa, yang saat ini bisa melihat dan menaiki kertapi zus…zus…zus di Museum Kereta Api Ambarawa. Hal yang sama juga segera bisa dinikmati oleh mereka yang tinggal di, atau yang dapat pergi, ke Sawahlunto, Sumatera Barat.
Apa yang terjadi dan apa problematika di kertapi zus…zus…zus di Medan? Awal tahun 2007, saya mengirim 4 orang mahasiswa dari Jurusan Sejarah Universitas Negeri Medan ke kantor PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI) yang ada di Medan untuk membuat program wisata sejarah menggunakan kereta api zus…zus…zus ke jalur bersejarah Medan–Labuhan. Kereta api di Medan memiliki sejarah yang panjang, dibangun oleh swasta dengan nama Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) tahun 1883. Jalur yang pertamakali dibuka waktu itu adalah jalur Medan–Labuhan sejauh lebih kurang 16 km yang diresmikan pada tanggal 25 Juli 1886.
DSM sebagai perusahaan swasta berani memelopori pembukaan bisnis kereta api bukan karena penduduk yang padat atau berkembangnya sektor industri atau pertambangan di kawasan ini. DSM berdiri untuk memfasilitasi sektor perkebunan yang berkembang pesat di Tanah Deli. Perkembangan Kota Medan sendiri sejak akhir abad 19 tidak bisa dilepaskan dari perkembangan perkebunan, sehingga jejak sejarah perkebunan dan sejarah kereta api merupakan ikon sejarah kota ini.
Terus terang, waktu saya merencanakan program wisata sejarah naik kereta api dengan mahasiswa itu, saya teringat dengan wisata sejarah kereta api di Jerman, khususnya di Hamburg, tempat saya tinggal selama 7 tahun. Di halte kertapi Barmbek dekat rumah saya waktu itu, selalu terpampang poster dan brosur wisata sejarah naik kertapi tua ke kawasan-kawasan yang punya sejarah tua jalur perkeretaapian. Banyak orang tua yang ikut bernostalgia menaiki kertapi itu, sementara anak-anak sekolah beserta guru sejarah mereka membuat acara khusus mengikuti program wisata sejarah yang sangat cerdas dan mengesankan itu.
Ketika saya tahu di Ambarawa, wisata sejarah menggunakan kertapi sudah mulai dijalankan juga, kenapa di Medan tidak dimulai? Saya ingat, kertapi zus…zus…zus itu, waktu kecil sering saya lihat di Stasion Kertapi Medan. Bahkan akhir tahun 1970-an, saya pernah naik kertapi zus…zus…zus itu di Tebingtinggi. Saya sangat berharap, mahasiswa yang saya kirim ke kantor PT. KAI di Medan akan membawa berita gembira untuk segera membuat wisata sejarah menggunakan kertapi lama.
Tapi betapa menyedihkan ketika saya mengetahui dari mahasiswa itu, bahwa ternyata kereta api zus…zus…zus sudah tidak ada lagi di Medan. Saya heran, ke mana kertapi zus…zus…zus yang masih banyak saya lihat di tahun 1970-an itu kini berada? Tanya sana tanya sini, akhirnya saya mendapat informasi bahwa kertapi itu di tahun 1980-an diambil oleh Ibu Tien Soeharto untuk menjadi koleksi Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta. Saya sendiri belum mengecek kebenaran informasi itu. Satu kertapi tua yang diletakkan di samping Stasion Kereta Api Medan sekarang ternyata sudah tidak bisa jalan. Kertapi itu disisakan sekadar untuk monumen kejayaan masa lalu perkeretaapian Medan.
Saya sangat sedih dan kecewa. Dan kekecewaan makin bertambah ketika tanggal 20 Januari 2009 yang lalu, terbetik berita di Harian Kompas bahwa PT. KAI akan menyewakan aset lahannya ke swasta seluas 67 hektar di Brayan. Di lahan yang akan disewakan ke swasta itu, terdapat aset bersejarah perkeretaapian, seperti bangunan perumahan dan perkantoran dari zaman Belanda yang berarsitektur khas, bengkel kereta api dengan berbagai peninggalan dan peralatannya dari akhir abad ke-19, jalur-jalur kereta api tua dan juga menara air yang unik, tempat di mana kertapi zus…zus..zus dulu mengisi air untuk menggerakkan lokomotifnya. Bila kawasan ini disewakan ke swasta untuk dijadikan sentra bisnis, perkantoran, mall atau perumahan, maka tidak ada jaminan bahwa bangunan-bangunan bersejarah itu tidak dihancurkan oleh swasta yang telah mengantongi hak pengelolaan kawasan.
Saya dan beberapa teman yang mewakili Asosiasi Museum Indonesia (AMI) Pengurus Daerah Sumatera Utara, Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (Pussis) Unimed dan Badan Warisan Sumatera, pada tanggal 22 Januari 2009 datang menemui Kepala PT. KAI Divisi Regional Sumut-Aceh, Bapak Albert Tarra, di kantor pusatnya, di sebuah gedung bersejarah di Jl. Prof. Mr. M. Yamin Medan. Kami ingin menanyakan bagaimana konsep dan sikap PT. KAI terhadap bangunan-bangunan bersejarah yang ada di lahan yang akan mereka sewakan ke swasta itu.
Dan ternyata, PT. KAI pada waktu itu tidak peduli tentang aset sejarah yang ada di atas lahan itu. Mereka tidak melihat bangunan tua sebagai aset. Mereka hanya melihat kawasan itu sebatas aset lahan, yang bisa menguntungkan secara ekonomi. Dengan enteng, sang pimpinan bilang, nasib bangunan-bangunan itu terserah pihak swasta yang akan memakai lahan itu.
Dari dialog dengan pimpinan PT. KAI, nampak bahwa perusahaan BUMN itu tidak menghargai warisannya sendiri, bahkan terkesan tidak tahu sama sekali tentang nilai sejarah dari kawasan yang akan disewakan ke swasta itu. Cara berpikir PT. KAI seperti ini tentu sangat membahayakan warisan sejarah Kota Medan, terutama di tengah kecuekan pemerintah kotanya.
Pembicaraan kami dengan PT. KAI di Medan pun tak memberikan apa-apa, karena pimpinan
PT. KAI di Medan hanya instrumen dari kebijakan PT. KAI pusat. Sejumlah keberatan yang dilayangkan sejarahwan dan pemerhati sejarah di media massa tentang rencana penghancuran warisan sejarah Kota Medan itu seharusnya juga bisa disampaikan ke PT. KAI Pusat atau atasannya, bahkan jika perlu ke DPR RI agar parlemen bisa memanggil Dirut PT. KAI.
Aset sejarah kereta api di Medan tidak hanya penting bagi sejarah perkeretaapian Indonesia, tapi juga penting bagi sejarah Kota Medan. Menghancurkan aset itu berarti juga menghancurkan sejarah Kota Medan. Untuk mencegah hal itu, pihak Pemko Medan harusnya bisa bernegosiasi dengan PT. KAI Pusat di Bandung sebagaimana yang dilakukan Pemko Sawah Lunto. Pengelolaannya bisa dilakukan dalam bentuk konsorsium kedua instansi atau diserahkan ke pihak ketiga.
Kawasan Brayan yang akan disewakan PT. KAI ke swasta harusnya tidak memasukkan bangunan-bangunan sejarah dan situs bersejarah yang ada di sekitar itu. Pihak PT. KAI saya kira bisa bernegosiasi dengan pihak swasta karena bangunan bersejarah yang ada tidak berada di seluruh area, hanya memusat di satu tempat. Pihak Pemko dengan DPRD perlu segera mengeluarkan Perda untuk menetapkan bangunan-bangunan bersejarah di kawasan itu sebagai benda cagar budaya agar pihak swasta nanti tidak bisa menghancurkannya.
Di samping kawasan Brayan, di sekitar Stasion Kereta Api Medan sendiri banyak sekali bangunan dan kawasan bersejarah yang berkaitan dengan sejarah perkeretaapian. Saya mendengar dari anggota DPRD Medan, Bapak Ikrimah Hamidy, bahwa pihak PT. KAI sedang mengusulkan pengembangan stasion itu dalam rangka pembukaan jalur kereta api ke Kualanamu. Dikhawatirkan, dalam rancangan pengembangannya, kawasan bersejarah di kawasan itu akan dikorbankan. Pemko Medan dan DPRD perlu segera mengantisipasi rencana ini dengan menyelamatkan aset sejarah yang ada di situ. Saya mengusulkan agar titi gantung dan pergudangan di kiri dan kanan stasion, juga bangunan-bangunan tua PT. KAI di sekitarnya, dapat difungsikan sebagai site museum kereta api.
Kereta api tua yang dipajang di samping Stasion Kereta Api Medan yang nampak tidak terawat, seperti sengaja ditelantarkan dan dijadikan semacam “toilet umum” itu, harusnya bisa dipindahkan ke salah satu gudang yang ada, terlindung dari panas dan hujan, dirawat dan diberi narasi sejarah. Gudang-gudang itu bisa dirombak, dijadikan museum tempat pajangan berbagai gerbong dan kereta api lainnya, termasuk gerbong kereta api Sultan Deli yang ada di Brayan. Sejumlah replika kereta api tua yang pernah dipakai di Medan dapat disajikan di ruang museum itu, juga foto-foto perkeretaapian kawasan ini.
Itu semua bisa dirangkai dalam gagasan menghidupkan kembali jalur sejarah kereta api Sumatera. Dan ini semuanya bukan mustahil. Modifikasi teknologi di Eropa telah memungkinkan rongsokan kereta api tua bisa dihidupkan lagi. Untuk itu, bisa dibuat komite untuk melacak dan mengembalikan semua lokomotif tua milik Sumut yang pernah dibawa ke Pulau Jawa. Jika ada kemauan, bukanlah mimpi lagi untuk berwisata sejarah naik kereta api di Medan yang zus…zus…zus
By. Ichwan Azhari, MS
Posthing from : Sabtu, 18 April 2009 "Inside Sumatera"