Rabu, 05 Agustus 2009

KOTA YANG KEHILANGAN JEJAK

Sebelum tahun 1975, Kota Medan merayakan hari ulang tahunnya setiap tanggal 1 April. Penetapan hari ulang tahun itu didasarkan penetapan Kota Medan sebagai Gemeenteraad tanggal 1 April 1909. Jika hari ulang tahun itu tidak dirubah pada tahun 1975, maka tanggal 1 April ini merupakan hari ulang tahun Kota Medan ke-100 (satu abad). Melakukan refleksi melalui peringatan satu abad Kota Medan sebagai satu kota dengan warisan jejak peradaban Eropa yang tinggi, tentu beda dengan jika yang dijadikan tonggak adalah hari jadi sebuah kampung, apalagi tidak ada bukti historis bahwa dari kampung itulah Medan berkembang menjadi kota moderen.

Ini semua terjadi hanya gara-gara sekelompok orang kurang kerjaan yang tidak mau segala sesuatunya berbau kolonial. Lalu di awal tahun 1970-an, orang-orang itu mencari kesibukan mengarang hari jadi kota yang baru. Yang penting, tidak ada bau Belandanya. Mereka mencoba mengingkari bahwa Kota Medan adalah ciptaan Belanda.

Singkat cerita, mereka tersesat ke sebuah legenda bernama Hikayat Hamparan Perak. Fakta hari jadi sebuah kota dalam pengertian moderen di dalam hikayat itu jelas tidak ada. Lantas fakta yang tidak ada itu diada-adakan dan dijungkirbalikkan, lalu…sim salabim…ketemulah tanggal yang tidak berbau kolonial Belanda. Tanggal boneka itu 1 Juli 1590, yang sekarang diperingati sebagai Hari Jadi Kota Medan, satu tanggal yang manipulatif, jauh dari maksud mencari tanggal pengganti hari jadi sebuah kota moderen, yang embrio kemunculannya baru ada di abad ke-19.

Berdasarkan dokumen yang ada di Arsip Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (PUSSIS) Unimed, upaya untuk mengganti hari jadi kota yang berbau Belanda itu dilakukan melalui seminar tanggal 27-29 Maret 1971. Seminar itu kemudian bergulir ke tahap dibentuknya Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Medan. Nah, panitia inilah yang kemudian memfokuskan diri untuk menelaah teks tradisional yang anonim, Riwayat Hamparan Perak (RHP), sebagai bahan untuk mencari hari jadi Kota Medan. Pada waktu itu, memang dalam disiplin ilmu sejarah, belum berkembang kajian kritis atas sebuah teks tradisional, sehingga tidak dipertanyakan apakah sebuah teks tradisional bisa dipertanggungjawabkan untuk mencari data historis. Apakah teks yang menyimpan fakta sejarah atau teks tradisional sebenarnya sebuah wacana sejarah?

Karena pertanyaan kritis itu tidak diajukan, maka panitia tidak menyadari di belakang hari akan timbul masalah yang pelik ketika paradoks dalam teks ini dibuka orang satu persatu. Misalnya, panitia berdasar teks ini mengatakan, pendiri Kota Medan adalah Guru Patimpus, orang Karo bermarga Sembiring. Tapi sekarang di internet ada bantahan berdasarkan teks yang sama, bahwa Guru Patimpus bukan marga Sembiring. Dia adalah marga Sinambela, keturunan Singamangaraja. Jadi pendiri Kota Medan bukan orang Karo, melainkan orang Batak Toba.

Teks ini memang penuh paradoks dari awalnya. Tertulis dalam teks, Patimpus adalah anak dari putra Sisingamangaraja bernama Tuan Si Raja Hita. Dengan kata lain, Patimpus adalah cucu dari keturunan langsung Raja Sisingamangaraja. Patimpus muda menolak menjadi raja meneruskan tahta ayahnya di Toba dan memutuskan untuk pergi merantau ke berbagai tempat sambil menimba ilmu.

...Maka adalah Timpus tiada mau menjadi raja; di dalam beberapa orang besarnya mau jadikan, karena ia anak yang tua, namun ia tidak mau juga, maka turunlah ia pergi ke hutan mencari ilmu...

Kalimat awal di teks RHP ini dimulai dengan kalimat:

Alkisah kata sahibul hikayat suatu cerita dahulu kala seorang Raja bernama

Singa Mahraja memerintah di negeri Bekarah.

Dilihat dari kajian teks, naskah HRP ini meragukan sebagai tempat untuk mencari fakta, tapi justru dimaksudkan untuk mengkonstruksi sebuah realitas rekaan: di bagian awal cukup menarik, karena ada pertalian garis keturunan ke Singamangaraja. Dan kabarnya panitia hari jadi Kota Medan waktu itu sudah menghubungi keturunan Sisingamangaraja. Tapi mereka mendapatkan jawaban, tidak ada keturunan Sisingamangaraja yang mengarah ke Guru Patimpus. Juga diperlukan metode analisis wacana untuk memahami bagaimana Patimpus di akhir teks muncul sebagai ulama besar penyebar Islam di kalangan orang Karo di Sumatera Timur.

Lalu, ada hal penting lainnya yang rancu, yaitu temuan tentang asal muasal Datuk Kota Bangun yang menurut tafsir panitia adalah bernama Imam Saddik bin Abdullah, seorang ulama yang berasal dari Aceh (Dada Meuraxa, 1975:52). Namun itu terbantahkan sendiri oleh RHP bahwa Datuk Kota Bangun sebenarnya bukanlah Imam Saddik bin Abdullah yang seorang guru agama Islam dari Aceh, tetapi beliau (Datuk Kota Bangun) berasal dari Jawa.

Pada kenyataannya, ulama yang sebenarnya diduga berasal dari Jawa adalah Said Tahir yang makamnya ditemukan di Gelugur dan nisannya berangka tahun 1570-an, 20 tahun lebih dahulu dibuat dari makam Imam Saddik di Klumpang, daerah Hamparan Perak yang berangka tahun 23 Sya’ban 998 Hijriyah atau 27 Juni 1590 Masehi. Dalam hal ini, timbul pertanyaan-pertanyaan seperti; apakah Imam Saddik-lah yang dimaksud ulama dari Jawa (mengingat namanya yang tidak berbau Jawa, dan cukup meragukan)? Atau, apakah Said Tahir-lah yang sebenarnya bergelar Datuk Kota Bangun yang berasal dari Jawa? Hal ini diperkuat oleh adanya catatan dalam buku Begraafplaats Rapport tahun 1938 Kota Medan (Dada Meuraxa, 1975:37), bahwa nama Keramat Gelugur adalah Said Tahir yang berasal dari Jawa. Disebutkan, ia kemungkinan adalah keturunan Wali Songo dari Cirebon sebagai pengembang Agama Islam yang wafat sekitar tahun 1575 (masa di saat Agama Islam mulai berkembang di Sumatera Timur). Hal ini semakin menarik karena pada buku yang sama telah ditemukan data yang malah mematahkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Medan tersebut.

Satu hal lagi yang semakin memperkuat adanya kesimpangsiuran data pada buku yang ditulis oleh Dada Meuraxa adalah, adanya catatan resmi yang ditulis oleh Sarjana Moquette pada tahun 1922 (Dada Meuraxa, 1975:38), di mana dinyatakan bahwa Imam Saddik adalah ulama yang berasal dari Aceh dan datang ke Deli sebagai Guru Agama Islam. Hal ini semakin menguatkan bahwa Imam Saddik bukanlah ulama dari Jawa seperti yang diakui sebagai nama alias Datuk Kota Bangun. Dengan kata lain, Imam Saddik bin Abdullah yang makamnya ditemukan di Klumpang dan berangka tahun 1590 bukanlah Datuk Kota Bangun yang bertemu dengan Guru Patimpus yang berhasil di-Islamkannya.

Hal di atas semakin mengaburkan keyakinan bahwa tahun 1590 adalah tahun yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai tahun di mana Said Tahir alias Datuk Kota Bangun bertemu dengan Guru Patimpus. Soalnya figur yang diduga sebagai orang pertama yang berhasil meng-Islamkan datuk-datuk Hamparan Perak ini sudah meninggal pada tahun 1575.

Kalaupun pertemuan Datuk Kota Bangun dengan Guru Patimpus digunakan sebagai momentum awal didirikannya Kampung Medan, maka penggunaan tahun 1590 juga tidak tepat, karena Medan sudah ada sebelum Patimpus datang. Kutipan di dalam teks sendiri membantah bahwa Patimpus yang mendirikan Medan:

...tiada berapa lama antaranya maka ia pun pindahlah membuat kampung ke Medan, dan dengan takdir Tuhan pada suatu hari ia lagi tinggal menebas Medan itu bersama-sama dengan anak bininya...tiada berapa lamanya antaranya hamillah perempuannya itu, maka Guru Petimpus pun sudah siap membuat rumahnya dan kampung di Medan...

Mengutip teks di atas, ”...maka ia pun pindahlah membuat kampung ke Medan...”, ”...tinggal menebas Medan...”, dan ”... maka Guru Petimpus pun sudah siap membuat rumahnya dan kampung di Medan...”, secara jelas tersirat bahwa daerah Medan itu telah ada sebelum kampung-kampung itu didirikan.

Jadi jelas, penggunaan teks RHP sendiri bermasalah untuk mencari jejak historis Kota Medan. Tapi karena motifnya hanya mencari hari jadi kota yang tidak berbau kolonial, maka RHP menurut saya telah jadi korban, dan kebesaran Guru Patimpus sebagai ulama Islam yang penting dan kharismatik menjadi terdistorsi oleh tafsir panitia Hari Jadi Kota Medan. Ia “diangkat” panitia menjadi pendiri sebuah kota yang tidak dia lakukan.

Jikapun kita menolak 1 April 1909 karena alasan buatan Belanda, sebenarnya masih ada tanggal lain yang lebih layak, misalnya pindahnya Ibukota Asisten Residen Deli dari Labuhan ke Medan (1879) atau tanggal dipindahkannya Ibukota Residen Sumatra Timur dari Bengkalis ke Medan (1 Maret 1887) atau pindahnya Istana Kesultanan Deli dari Labuhan ke Medan (18 Mei 1891). Kampung tidak mungkin berevolusi menjadi sebuah kota jika tidak ada faktor-faktor luar yang mendukungnya, seperti ratusan kampung yang sampai sekarang tetap menjadi kampung dan tidak berevolusi menjadi sebuah kota.

Mengenang satu abad Kota Medan dari desain besar peradaban moderen Eropa, jelas bisa membuka mata kita: amburadulnya Kota Medan sekarang ini disebabkan karena salah urus penanggung jawab kota, yaitu Walikota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Medan. Sebab, sejak didesain Belanda akhir abad 19 sebagai sebuah kota moderen dengan replika peradaban Eropa di dalamnya, Kota Medan merupakan salah satu ikon penting kota yang unik dan tidak ada duanya di dunia. Sebuah kota Paris van Sumatra yang dirancang dan puluhan tahun diurus dengan serius oleh Dewan Kota (Gemeenteeraad) dan Walikotanya (Burgemeester).

Mengenang ke satu abad Kota Medan yang kini telah menjadi bagian dari kota dunia yang mengglobal tapi sekaligus tanpa roh peradaban kota, maka tiap tahun ada celah untuk membangkitkan pertanyaan: apa yang menyebabkan kota yang semula luar biasa ini berubah menjadi kota yang salah urus? Apa saja warisan kota yang telah dijarah? Siapa saja pejabat yang tidak benar-benar mengurus kota ini seperti selama puluhan tahun sebelumnya diurus dengan baik? Dan siapa saja mereka yang “berjasa” menghancurkan peradaban kota? Tapi sayang, dalam memperingati Hari Jadi Kota Medan sejak 1975, kita tiap tahun tidak lagi mengenang sisi tingginya peradaban kota ini, karena memori kita disesatkan untuk mengenang sebuah kampung yang absurd.


By. Ichwan Azhari, MS


(Psosting From : Kamis, 23 Juli 2009 "Inside sumatera" )

Tidak ada komentar: